Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, melainkan karena isu politik sejak kehadiran Prabowo di Ponpes Segoro Agung Mojokerto hingga potongan video Jokowi Firaun.
Padahal beberapa bulan lalu saya sempat mbrebes mili saat mendengar Mbah Nun bilang bahwa suatu saat ia pasti akan mati dan meminta anak-anak maiyah melanjutkan perjuangannya. Entah kenapa saat itu belum siap -dan mungkin tidak akan pernah siap- ditinggal beliau.
Di usianya yang sudah senja, ia banyak mengajarkan filosofi dan konsep hidup yang selaras dengan alam dan sosial. Slogan yang kerap dikampanyekan nahdliyin tentang memanusiakan manusia juga saya dapat dari Mbah Nun. Meski berulang kali beliau bilang untuk jangan mengikutinya sebab ada kemungkinan salah dari apa yang diucapkan, dilakukan, dan diajarkan.
Saya mengikuti Mbah Nun sejak awal kuliah sekira tahun 2010. Membaca kisah hidup beliau dan mulai mengumpulkan buku-buku karyanya. Semakin cinta ketika banyak ajaran kenahdliyian yang ditawarkan meski beliau lebih suka menyebutnya MuhammadiNU.
Kedekatan dengan idola saya berikutnya seperti Cak Nur, Gus Dur, dan Gus Mus semakin membuat saya semakin kagum dengan beliau. Hampir setiap kajiannya saya ikuti meski kebanyakan via YouTube. Seperti halnya Gus Dur, saya sering terkecoh menilai setiap ucapannya yang kadang bertentangan dengan keyakinan saya.
Dulu Gus Dur banyak dihina dan dimaki akibat perkataan dan kebijakannya kala menjabat sebagai presiden. Waton ngomong. Setelah meninggal, banyak yang terkejut kalau omongannya banyak yang terjadi seperti kasus korupsi, perilaku DPR, langkah diplomasi, dan lain sebagainya.
Dalam tradisi pesantren, kiai yang levelnya sudah makrifat itu punya ilmu weruh sakdurunge winarah. Namun tentu Mbah Nun akan tegas menolak puja-puji yang saya lontarkan. Beliau ingin dianggap manusia biasa yang kadang salah, kadang benar. Meskipun jamaah maiyah mungkin banyak yang setuju dengan pendapat saya.
Kurangcakapnya pengetahuan saya mengenai dunia politik dan kegaiban menyandarkan pemahaman saya kepada orang yang saya anggap lebih paham dan mengetahui. Tentu bukan kapasitas saya mengetahui maksud dibalik pernyataan Mbah Nun yang berdampak pada kemarahan mayoritas nahdliyin tulen di luaran sana.
Tokoh-tokoh NU berbondong memberikan pernyataan yang menyudutkan Mbah Nun yang kemudian dibarengi dengan ribuan caci maki di kolom komentar. Sebagian besar merasa menyesal pernah mengidolai Mbah Nun hanya karena potongan video (dalam beberapa kata).
Patut dimaklumi, selain memanasnya situasi politik, pihak pemerintah sekarang seolah menjadi representasi NU. Wakil presiden dan jajaran kabinet banyak dihuni tokoh NU yang membuat ribuan, bahkan jutaan warga NU ngamuk ke Mbah Nun. Seolah melupakan pengaruh dan perjuangan Mbah Nun mengayomi nahdliyin di kampung-kampung yang kerap mengundang beliau.
Baca Juga : Mari Giatkan Membeli Rokok Ilegal!
Itulah kenapa sejak dulu saya tidak pernah setuju NU dibawa ke ranah politik. Selain efek buruk fanatisme, NU kerap mengabaikan nilai dakwah yang mungkin saat ini masih diampu kiai-kiai kampung tanpa butuh eksistensi, popularitas, apalagi jabatan di pemerintahan. Mereka yang malah berjasa membesarkan NU dari akar rumput, seperti halnya yang dilakukan Mbah Nun saat melakukan kunjungan ke kampung-kampung.
Sementara tokoh NU milenial yang hanya sibuk menghibahkan diri di media sosial enteng saja mengatai Mbah Nun dengan sumpah serapah. Mengajak pengikutnya untuk andil membenci beliau dengan memviralkan kembali potongan narasi di media sosial.
Analogi goblok saya mungkin akan membantah klaim mereka ketika dulu yang jadi presiden Prabowo kemudian dikatai Mbah Nun sebagai Firaun. Respon tokoh-tokoh NU tentu akan mendukung dan memberikan puja-puji. Sekali lagi, faktor fanatisme dan kedekatan mengubah nalar keilmuan seseorang.
Tahun 2018 saya menggagas komunitas Seniman NU dengan mencuplik kutipan Mbah Nun, “Kebenaran adalah bekal yang kamu ekspresikan menjadi kebaikan untuk mencapai keindahan.” Tujuannya untuk membuka wawasan berpikir dan melonggarkan kebijaksanaan dari spektrum pengetahuan yang sempit. Menyadari banyak hal yang tidak kita ketahui, termasuk saat menjadi nahdliyin.
Saya adalah salah satu dari ratusan atau ribuan nahdliyin yang juga maiyahan. Dari Mbah Nun saya belajar menulis buku dan opini yang kebetulan dimuat ratusan media massa. Mengampanyekan toleransi beragama yang sebagian besar terinspirasi dari Mbah Nun. Namun usaha saya menyebarkan ajaran nahdliyin kalah telak dengan tokoh NU yang kadung taklid dengan pemerintah tanpa punya peran menyebarkan ajaran-ajaran ke-NU-an.
Membenturkan NU dan Maiyah akan disambut sorak sorai muslim puritan yang anti tahlilan, selawatan dengan gamelan, dan dakwah guyonan. Gegara politik praktis, saya menjadi khawatir usaha NU merangkul semua golongan terpecah belah dengan gegabahnya tokoh-tokoh NU mengangkat isu yang menambah keruh suasana jelang pemilu 2024.
Joko Yuliyanto
Post a Comment