Jangan Lagi Mencita-citakan Anak Menjadi Polisi

polisi pembunuh

VIRALLAYAR - Sejak kecil, jabatan polisi begitu diidamkan banyak orang tua pedesaan. Saat meninabobokan anaknya, biasanya ada dua cita-cita yang ditanamkan pada pikiran anaknya: dokter dan polisi. Kalau besar nanti jadi kedua pekerjaan tersebut. Bagi mereka dokter dan polisi lebih mulia daripada guru, penulis, DPR, buzzer, bahkan presiden.

Masyarakat desa masih “perawan” melihat tugas mulia dokter yang membantu masyarakat yang sakit atau membutuhkan pertolongan. Sementara polisi terlihat gagah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dari segala mara bahaya. Selain itu tentu dari tingkat kesejahteraan, dokter dan polisi tidak perlu diragukan lagi nilai gaji dan tunjangannya.

Ketika remaja menuju dewasa, anak-anak sudah mulai berpikir realistis bahwa menjadi polisi lebih mudah diraih dibandingkan menjadi dokter. Menjadi polisi bisa dicapai meski hanya bermodal lulusan Sekolah Menengah Atas/ Kejuruan (SMA/K). Sementara menjadi dokter harus melalui tahap kuliah, pendidikan profesi, ujian sertifikasi, internship, dan pendidikan spesialis. Butuh banyak uang dan waktu yang lama.

Jadi banyak polisi dari kampung yang bermodal fisik standar dan uang meski harus menjual sawah atau tanah warisan. Polisi “tidak butuh pandai” secara akademik, asalkan ujian fisik lulus. Maka muluslah cita-cita menjadi polisi. Dampaknya bukan hanya kepada anak yang masuk kepolisian, namun juga terhadap citra keluarga menjadi terpandang di masyarakat. Polisi masih punya strata tinggi dalam pekerjaan di kampung.

Kewibawaan dan ketegasan polisi yang identik dengan senjata pistol mampu mengintimidasi masyarakat. Bahkan sampai sekarang, jika ada cegatan (operasi zebra), saya masih membayangkan akan “di-dor” jika tidak membawa surat lengkap. Citra polisi di mata saya (dan mugkin banyak orang) merupakan hantu yang harus dihindari.

Padahal inginnya lembaga kepolisian itu bisa bersahabat dengan masyarakat. Membaur untuk sama-sama menciptakan kehidupan yang adil, nyaman, dan damai. Lembaga pengayom masyarakat jika ada keluh kesah, ketidakadilan, dan tindak kriminal di lingkungan sekitar. Itu harapannya.

Polisi Pembunuh?

Sejak tragedi di Kanjuruhan Malang, ketidakpercayaan terhadap lembaga kepolisian semakin memprihatinkan. Apalagi kasus konspirasi Fredy Sambo yang masih bergulir. Bahkan sehari sebelumnya juga ramai polisi hendak memukul mahasiswa di Patung Kuda saat demo. Tidak ada berita viral perilaku polisi yang mengayomi, malah yang ada sebaliknya.

Per hari ini, data kompolnas menyebut kematian dalam Tragedi Kanjuruhan selepas laga sarat rivalitas antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya mencapai 131 orang. Sebagian besar merupakan anak-anak remaja yang mungkin salah satu di antaranya punya cita-cita menjadi polisi.

Kalau diruntut kejadiaan di lapangan, akan ada saling lempar tanggung jawab dan menyalahkan yang lain. Otoritas yang terlibat tentu ada panitia pelaksanaan (panpel), PT Liga Indonesia Baru (PT LIB), oknum suporter, pihak broadcaster, dan aparat kepolisian dan atau TNI. Menyalahkan suporter karena ada dua orang yang merangsak masuk ke dalam stadion dengan dalih protes dikalahkan rival dan memberi semangat kepada para pemain yang kemudian diikuti gerudukan massa dari tribun.

Sementara pihak panpel bersalah karena mencetak tiket melebihi kapasitas stadion. Di sisi lain, PT LIB dan pihak Broadcaster (dalam hal ini Vidio dan Indosiar) yang menolak perubahan jadwal menjadi sore hari mungkin karena kebutuhan rating penonton. Pihak aparat kepolisian yang menjadi medium utama pembunuhan masal karena menembakan gas air mata ke sisi tribun.

Dampak dari ngawurnya penembakan gas air mata menyebabkan banyak penonton berhamburan dan berdesakan keluar. Anehnya pintu stadion malah tidak bisa dibuka sehingga menyebabkan banyak orang yang terhimpit, terdesak, dan terinjak-injak. Menahan pedihnya gas air mata dan sesak nafas karena tidak bisa keluar stadion merupakan prosesi pembunuhan yang sangat menyiksa. Apalagi banyak perempuan dan anak-anak yang berada di stadion untuk menyaksikan kemeriahan laga Derby Jatim.

Menariknya, “pembunuhan masal” itu dikatakan Kapolda sebagai tindakan yang sesuai prosedur. Semakin menakutkan bahwa polisi punya prosedur menembakan gas air mata untuk membunuh masyarakat. Padahal kalau aparat kepolisian mau dan mampu membaca, peraturan penggunaan gas air mata sudah dilarang FIFA sebagai induk sepak bola dunia.

Karakter pembunuh ini yang mungkin akan merevisi lagu ibu-ibu ketika meninabobokan anaknya. “Jangan jadi polisi anakku, nanti takut ibu juga kamu bunuh,”


Joko Yuliyanto

Penggagas komunitas Seniman NU

Post a Comment

Previous Post Next Post